TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
Setyasih Harini,S.IP.,M.Si
Disusun oleh :
NAMA : FITRI DWI
LARASATI
NPM : 16430006
PRODI : ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Slamet Riyadi Surakarta 2016
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya
adalah sesuatu yang sangat menarik
jika dicermati lebih dekat yang setiap belahan dunia memiliki ragam budaya yang
menarik dan bernilai tinggi. Budaya juga merupakan slahsatu hal yang dapat
dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karenanya, saya menyusun tugas ini dengan dasar ingin
mengenal lebih dalam kebudayaan Negara lain. Seperti halnya materi pengenalan
budaya eropa dan asia untuk Ujian Akhir Semester. Sebenarnya, banyak manfaat
yang dapat diambil dari mempelajari adanya budaya. Diantaranya kita dapat
menerapkan bagaimana masyarakat jepang mempertahankan dan melestarikan
kebudyaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
a.Sejarah
Singkat
Jepang adalah salah satu Negara yang berada
di kawasan asia. Negara ini juga dijuluki
Negara matahari karena sebagian masyrakatnya mempunyai kepercayaan
kepada matahari.
Namun
Negara ini tidak hanya dikenal dengan itu juga dikenal dengan budaya-budayanya.
contoh kebudayaan jepang: Baju tradisional jepang(Kimono).
Zaman Jomon dan Zaman Yayoi
Kimono zaman
Jomon dan zaman
Yayoi berbentuk seperti baju terusan.
Dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang zaman Jomon ditemukan haniwa. Pakaian atas yang dikenakan haniwa disebut kantoi (貫頭衣?).
Dalam Gishiwajinden (buku sejarah Cina mengenai tiga
negara) ditulis tentang pakaian sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan
secara horizontal pada tubuh pria seperti pakaian biksu, dan sehelai kain dililitkan di kepala. Pakaian wanita
dinamakan kantoi. Di tengah
sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan sebagai
pengikat di bagian pinggang.
Masih menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku
(sebutan zaman dulu untuk Jepang) "selalu mengenakan pakaian kantoi
berwarna putih". Serat rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa,
sementara orang berpangkat mengenakan kain sutra.
Zaman Kofun
Pakaian zaman
Kofun mendapat pengaruh dari daratan
Cina, dan terdiri dari dua potong pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah.
Haniwa mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah berupa rok yang dililitkan di pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat pakaian berupa celana
berpipa lebar seperti hakama.
Pada zaman
Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit.
Bagian depan kantoi dibuat
terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah dipakai.
Selanjutnya, baju atas terdiri dari dua jenis kerah:
- Kerah datar sampai persis di bawah leher (agekubi)
- Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada
Zaman Nara
Aristokrat zaman
Asuka bernama Pangeran
Shotoku menetapkan dua belas strata jabatan
dalam istana kaisar (kan-i jūnikai).
Pejabat istana dibedakan menurut warna hiasan penutup kepala (kanmuri). Dalam kitab hukum Taiho Ritsuryo dimuat peraturan tentang busana
resmi, busana pegawai istana, dan pakaian seragam dalam istana
Pakaian formal yang dikenakan pejabat
sipil (bunkan) dijahit di
bagian bawah ketiak. Pejabat militer mengenakan pakaian formal yang tidak
dijahit di bagian bawah ketiak agar pemakainya bebas bergerak. Busana dan
aksesori zaman Nara banyak dipengaruhi budaya Cina yang masuk ke Jepang.
Pengaruh budaya Dinasti Tang
ikut memopulerkan baju berlengan sempit yang disebut kosode untuk dikenakan sebagai pakaian dalam.
Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan
kimono. Kalau sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian
kanan, sejak zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian
kiri. Cara mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga kini.
Hanya orang meninggal dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah
kanan.
Zaman Heian
Menurut aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman utusan Jepang untuk Dinasti Tang (kentoshi) memicu pertumbuhan budaya
lokal. Tata cara berbusana dan standardisasi protokol untuk upacara-upacara
formal mulai ditetapkan secara resmi. Ketetapan tersebut berakibat semakin
rumitnya tata busana zaman Heian. Wanita zaman Heian mengenakan pakaian
berlapis-lapis yang disebut jūnihitoe.
Tidak hanya wanita zaman Heian, pakaian formal untuk militer juga menjadi tidak
praktis.
Ada
tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:
- Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)
- I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari sokutai)
- Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan).
Rakyat biasa mengenakan pakaian yang
disebut suikan atau kariginu (狩衣?, arti harafiah: baju berburu). Di kemudian hari, kalangan
aristokrat menjadikan kariginu
sebagai pakaian sehari-hari sebelum diikuti kalangan samurai.
Pada zaman Heian terjadi pengambilalihan
kekuasaan oleh kalangan samurai, dan bangsawan istana dijauhkan dari dunia
politik. Pakaian yang dulunya merupakan simbol status bangsawan istana
dijadikan simbol status kalangan samurai.
Zaman Kamakura dan zaman Muromachi
Pada
zaman Sengoku,
kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai mengenakan pakaian
yang disebut suikan. Pakaian jenis ini nantinya berubah
menjadi pakaian yang disebut hitatare.
Pada zaman Muromachi,
hitatare merupakan pakaian
resmi samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebut suō (素襖?), yakni sejenis hitatare
yang tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas suō adalah lambang keluarga dalam ukuran besar di delapan
tempat.
Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut mo (裳?) makin pendek sebelum diganti dengan hakama. Setelan mo dan hakama akhirnya hilang sebelum diganti dengan kimono model
terusan, dan kemudian kimono wanita yang disebut kosode. Wanita mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di
sekitar pinggang (koshimaki)
dan/atau yumaki. Mantel panjang
yang disebut uchikake dipakai setelah memakai kosode.
Awal Zaman Edo
Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga zaman
Edo. Pakaian samurai zaman Edo adalah
setelan berpundak lebar yang disebut kamishimo
(裃?). Satu setel kamishimo terdiri dari kataginu (肩衣?) dan hakama. Di kalangan wanita, kosode
menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren
busana.
Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang
disebut nishiki-e atau ukiyo-e
mendorong makin banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono mahal
dan gemerlap. Pakaian orang kota pun cenderung makin mewah karena iking meniru
pakaian aktor kabuki.
Kecenderungan orang kota berpakaian semakin
bagus dan jauh dari norma konfusianisme ingin dibatasi oleh Keshogunan
Edo. Secara bertahap pemerintah
keshogunan memaksakan kenyaku-rei,
yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan tersebut gagal karena
keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara
minum teh menjadi sebab kegagalan kenyaku-rei. Orang menghadiri upacara
minum teh memakai kimono yang terlihat sederhana namun ternyata berharga mahal.
Tali pinggang kumihimo dan gaya mengikat obi di punggung mulai dikenal sejak zaman Edo. Hingga kini,
keduanya bertahan sebagai aksesori sewaktu mengenakan kimono.
Akhir Zaman Edo
Politik isolasi (sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Kimono mulai dibuat dari benang sutra produksi dalam
negeri. Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra jenis crape lebih murah. Setelah terjadi kelaparan zaman
Temmei (1783-1788), Keshogunan
Edo pada tahun 1785 melarang rakyat untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian
orang kota dibuat dari kain katun
atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal dari furisode
populer di kalangan wanita.
Zaman Meiji dan
zaman Taisho
Industri
berkembang maju pada zaman Meiji.
Produksi sutra meningkat, dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Harga
kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal berjenis-jenis kain sutra.
Peraturan pemakaian benang sutra dinyatakan tidak berlaku. Kimono untuk wanita
mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain sutra. Industri pemintalan sutra didirikan di berbagai tempat di Jepang. Sejalan
dengan pesatnya perkembangan industri pemintalan, industri tekstil benang sutra
ikut berkembang. Produknya berupa berbagai kain sutra, mulai dari kain krep, rinzu, omeshi, hingga
meisen.
Tersedianya beraneka jenis kain yang dapat
diproses menyebabkan berkembangnya teknik pencelupan kain. Pada zaman Meiji
mulai dikenal teknik yuzen, yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan corak kain di atas kain kimono.
Sementara itu, wanita kalangan atas masih
menggemari kain sutra yang bermotif garis-garis dan susunan gambar yang sangat
rumit dan halus. Mereka mengenakan kimono dari model kain yang sudah populer
sejak zaman Edo sebagai pakaian terbaik sewaktu menghadiri acara istimewa.
Hampir pada waktu yang bersamaan, kain sutra hasil tenunan benang
berwarna-warni hasil pencelupan
mulai disukai orang.
Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat
mulai masuk ke Jepang, penjahit
lokal mulai bisa membuat pakaian Barat. Sejak itu pula, istilah wafuku dipakai untuk membedakan
pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Ketika
pakaian Barat mulai dikenal di Jepang, kalangan atas memakai pakaian Barat yang
dipinjam dari toko persewaan pakaian Barat.
Di era modernisasi Meiji, bangsawan istana
mengganti kimono dengan pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun
demikian, orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan
tradisional tidak menjadi terpengaruh. Orang kota tetap berusaha mempertahankan
kimono dan tradisi yang dipelihara sejak zaman Edo. Sebagian besar pria zaman
Meiji masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana formal pria juga mulai populer. Sebagian
besar wanita zaman Meiji masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan
guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.
Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer.
Seragam tentara angkatan darat menjadi model untuk seragam sekolah anak
laki-laki. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang
mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara. Pada akhir zaman
Taisho, pemerintah menjalankan kebijakan
mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti dari andonbakama (kimono dan hakama) menjadi pakaian Barat yang disebut serafuku (sailor fuku),
yakni setelan blus mirip pakaian pelaut dan rok.
Zaman Showa
Semasa perang, pemerintah membagikan
pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki
disebut kokumin fuku (seragam
rakyat). Wanita dipaksa memakai monpei
yang berbentuk seperti celana panjang untuk kerja dengan karet di bagian
pergelangan kaki.
Setelah Jepang kalah dalam Perang
Dunia II, wanita Jepang mulai kembali
mengenakan kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan modernisasi.
Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat dianggap lebih praktis
sebagai pakaian sehari-hari.
Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai wanita Jepang sebagai pakaian
sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat kembali setelah
diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita zaman itu menyukai kimono dari wol sebagai pakaian
untuk kesempatan santai.
Setelah kimono tidak lagi populer, pedagang
kimono mencoba berbagai macam strategi untuk meningkatkan angka penjualan
kimono. Salah satu di antaranya dengan mengeluarkan "peraturan mengenakan
kimono" yang disebut yakusoku.
Menurut peraturan tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan
aksesori tertentu. Maksudnya untuk mendikte pembeli agar membeli sebanyak
mungkin barang. Strategi tersebut ternyata tidak disukai konsumen, dan minat
masyarakat terhadap kimono makin menurun. Walaupun pedagang kimono melakukan
promosi besar-besaran, opini "memakai kimono itu ruwet" sudah
terbentuk di tengah masyarakat Jepang.
Hingga tahun 1960-an, kimono masih dipakai
pria sebagai pakaian santai di rumah. Gambar pria yang mengenakan kimono di
rumah masih bisa dilihat dalam berbagai manga terbitan tahun 1970-an. Namun sekarang ini, kimono tidak
dikenakan pria sebagai pakaian di rumah, kecuali samue yang dikenakan para perajin.
Aksesori dan pelengkap
- Hakama
Hakama adalah celana panjang pria yang dibuat dari bahan
berwarna gelap. Celana jenis ini berasal dari daratan Cina dan mulai dikenal
sejak zaman Asuka.
Selain dikenakan pendeta Shinto,
hakama dikenakan pria dan wanita di bidang olahraga bela diri tradisional
seperti kendo atau kyudo.
- Geta
Geta adalah sandal berhak dari kayu. Maiko memakai geta berhak tinggi dan tebal yang disebut pokkuri
- Kanzashi
Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke
rambut sewaktu memakai kimono.
- Obi
Obi
adalah sabuk dari kain yang dililitkan ke tubuh pemakai sewaktu mengencangkan
kimono
- Tabi
Tabi adalah kaus
kaki sepanjang betis yang dipakai
sewaktu memakai sandal.
- Waraji
Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.
- Zōri
b.Macam-Macam Kimono
Kimono Wanita
Pemilihan jenis kimono yang tepat memerlukan
pengetahuan mengenai simbolisme dan isyarat terselubung yang dikandung
masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas kimono wanita ditentukan oleh
pola tenunan dan warna, mulai dari kimono paling formal hingga kimono santai.
Berdasarkan jenis kimono yang dipakai, kimono bisa menunjukkan umur pemakai,
status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.
- Kurotomesode
Tomesode adalah kimono paling formal untuk wanita yang sudah
menikah. Bila berwarna hitam,
kimono jenis ini disebut kurotomesode (arti harfiah: tomesode hitam).
Kurotomesode memiliki lambang keluarga (kamon)
di tiga tempat: 1 di punggung, 2 di dada bagian atas (kanan/kiri), dan 2 bagian
belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas kurotomesode adalah motif indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki)
depan dan belakang. Kurotomesode dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat resmi.
Kurotomesode
- Furisode
Furisode adalah
kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan berwarna-warni
cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian kain. Ciri khas furisode adalah
bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Furisode dikenakan
sewaktu menghadiri upacara seijin shiki,
menghadiri resepsi pernikahan
teman, upacara wisuda,
atau hatsumode.
Pakaian pengantin wanita yang disebut hanayome
ishō termasuk salah satu jenis furisode.
- Irotomesode
Tomesode yang dibuat dari kain berwarna disebut irotomesode
(arti harfiah: tomesode berwarna). Bergantung kepada tingkat formalitas acara,
pemakai bisa memilih jumlah lambang keluarga pada kain kimono, mulai dari satu,
tiga, hingga lima buah untuk acara yang sangat formal. Kimono jenis ini dipakai
oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Kimono jenis irotomesode dipakai
untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu untuk datang memakai
kurotomesode, misalnya resepsi di istana kaisar. Sama halnya seperti
kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah motif indah pada suso.
Irotomesode
- Homongi
Hōmon-gi (訪問着?, arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal
untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk
memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas homongi
adalah motif di seluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi dipakai
sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, upacara
minum teh, atau merayakan tahun
baru
Homongi
- Iromuji
Iromuji adalah kimono semiformal,
namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang
keluarga (kamon). Sesuai dengan
tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat
(bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada). Iromoji dibuat dari bahan
tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu, biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang
keluarga di 5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan. Bila
menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang
keluarga.
Iromuji
- Tsukesage
Tsukesage
adalah kimono semiformal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitas, kedudukan
tsukesage hanya setingkat di bawah homongi. Kimono jenis ini tidak memiliki
lambang keluarga. Tsukesage dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang
tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan tahun baru.
Tsukage
- Komon
Komon adalah kimono santai untuk wanita yang
sudah atau belum menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan
berukuran kecil-kecil yang berulang. Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton
pertunjukan di gedung.

- Tsumugi
Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan
sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian,
kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja
dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari
benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar.
Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.
Tsumugi
- Yukata
Yukata adalah kimono santai yang dibuat dari
kain katun tipis tanpa pelapis untuk kesempatan santai di musim panas
Yukata
Kimono Pria
Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap
seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam
- Kimono paling formal berupa setelan montsuki hitam dengan hakama dan haori
Bagian punggung montsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki yang dikenakan
bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria tradisional. Setelan
ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi
pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.
- Kimono santai kinagashi
Pria mengenakan kinagashi sebagai pakaian sehari-hari
atau ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak
dihiasi dengan lambang keluarga.
Referensi
1. Dalby, Liza (2001). Kimono: Fashioning Culture. Washington, USA:
University of Washington Press. ISBN 0-295-98155-5.
2. Sharnoff, Lora (1993). Grand Sumo. Weatherhill. ISBN
3. a b c d 着付けと帯結び
(Kitsuke to obi musubi). Tokyo:
Sekai Bunkasha. 1996. pp. 14–17. ISBN 4-418-9613-3 .

Sangat menarik😍
BalasHapusSangat rapi dan mendetail. Mantap gan
BalasHapusSangat rapi dan mendetail. Mantap gan
BalasHapusMantap jiwa postingan nya. Bisa menambah wawasan sya. Mksh kakak..
BalasHapusMantap bor postingannya sangat bermanfaat 👍👍
BalasHapusWah keren banget. Sangat menarik untuk dibaca dan bagus buat refrensi. 😮
BalasHapusWah keren banget. Sangat menarik untuk dibaca dan bagus buat refrensi. 😮
BalasHapuswah , lucu ya mb . kalo di harajuku di modif jadi wamono mb , bisa liat di blog saya ohdian.blogspot.co.id
BalasHapusartikel nya bisa jdi referensi nih kak. . mksh
BalasHapus