Minggu, 01 Januari 2017


                       TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
                          Setyasih Harini,S.IP.,M.Si

                                   
                                               Disusun oleh : 

NAMA : FITRI DWI LARASATI
NPM    : 16430006
PRODI  : ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
  
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik 
Universitas Slamet Riyadi Surakarta 2016






PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Budaya adalah sesuatu yang sangat menarik jika dicermati lebih dekat yang setiap belahan dunia memiliki ragam budaya yang menarik dan bernilai tinggi. Budaya juga merupakan slahsatu hal yang dapat dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karenanya, saya menyusun tugas ini dengan dasar ingin mengenal lebih dalam kebudayaan Negara lain. Seperti halnya materi pengenalan budaya eropa dan asia untuk Ujian Akhir Semester. Sebenarnya, banyak manfaat yang dapat diambil dari mempelajari adanya budaya. Diantaranya kita dapat menerapkan bagaimana masyarakat jepang mempertahankan dan melestarikan kebudyaannya. 


                                                                 BAB II
PEMBAHASAN 

a.Sejarah Singkat
  Jepang adalah salah satu Negara yang berada di kawasan asia. Negara ini juga dijuluki        Negara matahari karena sebagian masyrakatnya mempunyai kepercayaan kepada matahari.
Namun Negara ini tidak hanya dikenal dengan itu juga dikenal dengan budaya-budayanya. contoh kebudayaan jepang: Baju tradisional jepang(Kimono).

 Zaman Jomon dan Zaman Yayoi
     Kimono zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk seperti baju terusan. Dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang zaman Jomon ditemukan haniwa. Pakaian atas yang dikenakan haniwa disebut kantoi (貫頭衣?).
    Dalam Gishiwajinden (buku sejarah Cina mengenai tiga negara) ditulis tentang pakaian sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara horizontal pada tubuh pria seperti pakaian biksu, dan sehelai kain dililitkan di kepala. Pakaian wanita dinamakan kantoi. Di tengah sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.
    Masih menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan zaman dulu untuk Jepang) "selalu mengenakan pakaian kantoi berwarna putih". Serat rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa, sementara orang berpangkat mengenakan kain sutra. 


Zaman Kofun
      Pakaian zaman Kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan terdiri dari dua potong pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah berupa rok yang dililitkan di pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat pakaian berupa celana berpipa lebar seperti hakama.
      Pada zaman Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian depan kantoi dibuat terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah dipakai. Selanjutnya, baju atas terdiri dari dua jenis kerah:
  • Kerah datar sampai persis di bawah leher (agekubi)
  • Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada

 
Zaman Nara
     Aristokrat zaman Asuka bernama Pangeran Shotoku menetapkan dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (kan-i jūnikai). Pejabat istana dibedakan menurut warna hiasan penutup kepala (kanmuri). Dalam kitab hukum Taiho Ritsuryo dimuat peraturan tentang busana resmi, busana pegawai istana, dan pakaian seragam dalam istana

     Pakaian formal yang dikenakan pejabat sipil (bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak. Pejabat militer mengenakan pakaian formal yang tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar pemakainya bebas bergerak. Busana dan aksesori zaman Nara banyak dipengaruhi budaya Cina yang masuk ke Jepang. Pengaruh budaya Dinasti Tang ikut memopulerkan baju berlengan sempit yang disebut kosode untuk dikenakan sebagai pakaian dalam.
     Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Kalau sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian kanan, sejak zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Cara mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga kini. Hanya orang meninggal dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.


Zaman Heian
        Menurut aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman utusan Jepang untuk Dinasti Tang (kentoshi) memicu pertumbuhan budaya lokal. Tata cara berbusana dan standardisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai ditetapkan secara resmi. Ketetapan tersebut berakibat semakin rumitnya tata busana zaman Heian. Wanita zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut jūnihitoe. Tidak hanya wanita zaman Heian, pakaian formal untuk militer juga menjadi tidak praktis.
Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:
  • Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)
  • I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari sokutai)
  • Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan).
          Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut suikan atau kariginu (狩衣?, arti harafiah: baju berburu). Di kemudian hari, kalangan aristokrat menjadikan kariginu sebagai pakaian sehari-hari sebelum diikuti kalangan samurai.
      Pada zaman Heian terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan samurai, dan bangsawan istana dijauhkan dari dunia politik. Pakaian yang dulunya merupakan simbol status bangsawan istana dijadikan simbol status kalangan samurai.



Zaman  Kamakura dan zaman Muromachi
      Pada zaman Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai mengenakan pakaian yang disebut suikan. Pakaian jenis ini nantinya berubah menjadi pakaian yang disebut hitatare. Pada zaman Muromachi, hitatare merupakan pakaian resmi samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebut suō (素襖?), yakni sejenis hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas suō adalah lambang keluarga dalam ukuran besar di delapan tempat.
      Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut mo (?) makin pendek sebelum diganti dengan hakama. Setelan mo dan hakama akhirnya hilang sebelum diganti dengan kimono model terusan, dan kemudian kimono wanita yang disebut kosode. Wanita mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di sekitar pinggang (koshimaki) dan/atau yumaki. Mantel panjang yang disebut uchikake dipakai setelah memakai kosode.


Awal Zaman Edo
    Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian samurai zaman Edo adalah setelan berpundak lebar yang disebut kamishimo (?). Satu setel kamishimo terdiri dari kataginu (肩衣?) dan hakama. Di kalangan wanita, kosode menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren busana.
    Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut nishiki-e atau ukiyo-e mendorong makin banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono mahal dan gemerlap. Pakaian orang kota pun cenderung makin mewah karena iking meniru pakaian aktor kabuki.
    Kecenderungan orang kota berpakaian semakin bagus dan jauh dari norma konfusianisme ingin dibatasi oleh Keshogunan Edo. Secara bertahap pemerintah keshogunan memaksakan kenyaku-rei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan tersebut gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh menjadi sebab kegagalan kenyaku-rei. Orang menghadiri upacara minum teh memakai kimono yang terlihat sederhana namun ternyata berharga mahal.
    Tali pinggang kumihimo dan gaya mengikat obi di punggung mulai dikenal sejak zaman Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai aksesori sewaktu mengenakan kimono.



Akhir Zaman Edo
     Politik isolasi (sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Kimono mulai dibuat dari benang sutra produksi dalam negeri. Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra jenis crape lebih murah. Setelah terjadi kelaparan zaman Temmei (1783-1788), Keshogunan Edo pada tahun 1785 melarang rakyat untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang kota dibuat dari kain katun atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal dari furisode populer di kalangan wanita.



Zaman Meiji dan zaman Taisho
   Industri berkembang maju pada zaman Meiji. Produksi sutra meningkat, dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal berjenis-jenis kain sutra. Peraturan pemakaian benang sutra dinyatakan tidak berlaku. Kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain sutra. Industri pemintalan sutra didirikan di berbagai tempat di Jepang. Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri pemintalan, industri tekstil benang sutra ikut berkembang. Produknya berupa berbagai kain sutra, mulai dari kain krep, rinzu, omeshi, hingga meisen.
   Tersedianya beraneka jenis kain yang dapat diproses menyebabkan berkembangnya teknik pencelupan kain. Pada zaman Meiji mulai dikenal teknik yuzen, yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan corak kain di atas kain kimono.
    Sementara itu, wanita kalangan atas masih menggemari kain sutra yang bermotif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus. Mereka mengenakan kimono dari model kain yang sudah populer sejak zaman Edo sebagai pakaian terbaik sewaktu menghadiri acara istimewa. Hampir pada waktu yang bersamaan, kain sutra hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan mulai disukai orang.
   Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai masuk ke Jepang, penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian Barat. Sejak itu pula, istilah wafuku dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Ketika pakaian Barat mulai dikenal di Jepang, kalangan atas memakai pakaian Barat yang dipinjam dari toko persewaan pakaian Barat.
   Di era modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti kimono dengan pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan tradisional tidak menjadi terpengaruh. Orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi yang dipelihara sejak zaman Edo. Sebagian besar pria zaman Meiji masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana formal pria juga mulai populer. Sebagian besar wanita zaman Meiji masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.
    Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer. Seragam tentara angkatan darat menjadi model untuk seragam sekolah anak laki-laki. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara. Pada akhir zaman Taisho, pemerintah menjalankan kebijakan mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti dari andonbakama (kimono dan hakama) menjadi pakaian Barat yang disebut serafuku (sailor fuku), yakni setelan blus mirip pakaian pelaut dan rok.


Zaman Showa
    Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut kokumin fuku (seragam rakyat). Wanita dipaksa memakai monpei yang berbentuk seperti celana panjang untuk kerja dengan karet di bagian pergelangan kaki.
  Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, wanita Jepang mulai kembali mengenakan kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari.
  Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai wanita Jepang sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat kembali setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita zaman itu menyukai kimono dari wol sebagai pakaian untuk kesempatan santai.
  Setelah kimono tidak lagi populer, pedagang kimono mencoba berbagai macam strategi untuk meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di antaranya dengan mengeluarkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut yakusoku. Menurut peraturan tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu. Maksudnya untuk mendikte pembeli agar membeli sebanyak mungkin barang. Strategi tersebut ternyata tidak disukai konsumen, dan minat masyarakat terhadap kimono makin menurun. Walaupun pedagang kimono melakukan promosi besar-besaran, opini "memakai kimono itu ruwet" sudah terbentuk di tengah masyarakat Jepang.
  Hingga tahun 1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian santai di rumah. Gambar pria yang mengenakan kimono di rumah masih bisa dilihat dalam berbagai manga terbitan tahun 1970-an. Namun sekarang ini, kimono tidak dikenakan pria sebagai pakaian di rumah, kecuali samue yang dikenakan para perajin.


 

Aksesori dan pelengkap
  •  Hakama
Hakama adalah celana panjang pria yang dibuat dari bahan berwarna gelap. Celana jenis ini berasal dari daratan Cina dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Selain dikenakan pendeta Shinto, hakama dikenakan pria dan wanita di bidang olahraga bela diri tradisional seperti kendo atau kyudo.
  •    Geta  
Geta adalah sandal berhak dari kayu. Maiko memakai geta berhak tinggi dan tebal yang disebut pokkuri
  • Kanzashi
Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.
  • Obi
Obi adalah sabuk dari kain yang dililitkan ke tubuh pemakai sewaktu mengencangkan kimono
  • Tabi
Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dipakai sewaktu memakai sandal.
  • Waraji
Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.
  • Zōri
             Zōri adalah sandal tradisional yang dibuat dari kain atau anyaman.



b.Macam-Macam Kimono

  Kimono Wanita
   Pemilihan jenis kimono yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai simbolisme dan isyarat terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono paling formal hingga kimono santai. Berdasarkan jenis kimono yang dipakai, kimono bisa menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.



  • Kurotomesode
Tomesode adalah kimono paling formal untuk wanita yang sudah menikah. Bila berwarna hitam, kimono jenis ini disebut kurotomesode (arti harfiah: tomesode hitam). Kurotomesode memiliki lambang keluarga (kamon) di tiga tempat: 1 di punggung, 2 di dada bagian atas (kanan/kiri), dan 2 bagian belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas kurotomesode adalah motif indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki) depan dan belakang. Kurotomesode dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat resmi.
       
     
 
Kurotomesode


  • Furisode
  Furisode adalah kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian kain. Ciri khas furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Furisode dikenakan sewaktu menghadiri upacara seijin shiki, menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda, atau hatsumode. Pakaian pengantin wanita yang disebut hanayome ishō termasuk salah satu jenis furisode.

 Furisode

  • Irotomesode
Tomesode yang dibuat dari kain berwarna disebut irotomesode (arti harfiah: tomesode berwarna). Bergantung kepada tingkat formalitas acara, pemakai bisa memilih jumlah lambang keluarga pada kain kimono, mulai dari satu, tiga, hingga lima buah untuk acara yang sangat formal. Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Kimono jenis irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu untuk datang memakai kurotomesode, misalnya resepsi di istana kaisar. Sama halnya seperti kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah motif indah pada suso.
 
 
Irotomesode

  • Homongi
Hōmon-gi (訪問着?, arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas homongi adalah motif di seluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, upacara minum teh, atau merayakan tahun baru
  
 
Homongi


  • Iromuji
   Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada). Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu, biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang keluarga di 5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan. Bila menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang keluarga.

     
Iromuji



  • Tsukesage
     Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut        tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya setingkat di bawah homongi. Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga. Tsukesage dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan tahun baru.

  
                                                                          Tsukage 
 

  • Komon
  Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil-kecil yang berulang. Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung. 





  • Tsumugi
  Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.

 
Tsumugi



  • Yukata
  Yukata adalah kimono santai yang dibuat dari kain katun tipis tanpa pelapis untuk kesempatan santai di musim panas
  
 
Yukata



Kimono Pria
Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam
  •  Kimono paling formal berupa setelan montsuki hitam dengan hakama dan haori
Bagian punggung montsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki yang dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria tradisional. Setelan ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.
  • Kimono santai kinagashi
Pria mengenakan kinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak dihiasi dengan lambang keluarga.



Referensi
1.      Dalby, Liza (2001). Kimono: Fashioning Culture. Washington, USA: University of Washington Press. ISBN 0-295-98155-5.
2.       Sharnoff, Lora (1993). Grand Sumo. Weatherhill. ISBN
3.      a b c d 着付けと帯結び (Kitsuke to obi musubi). Tokyo: Sekai Bunkasha. 1996. pp. 14–17. ISBN 4-418-9613-3 .


9 komentar:

  1. Sangat rapi dan mendetail. Mantap gan

    BalasHapus
  2. Sangat rapi dan mendetail. Mantap gan

    BalasHapus
  3. Mantap jiwa postingan nya. Bisa menambah wawasan sya. Mksh kakak..

    BalasHapus
  4. Mantap bor postingannya sangat bermanfaat 👍👍

    BalasHapus
  5. Wah keren banget. Sangat menarik untuk dibaca dan bagus buat refrensi. 😮

    BalasHapus
  6. Wah keren banget. Sangat menarik untuk dibaca dan bagus buat refrensi. 😮

    BalasHapus
  7. wah , lucu ya mb . kalo di harajuku di modif jadi wamono mb , bisa liat di blog saya ohdian.blogspot.co.id

    BalasHapus
  8. artikel nya bisa jdi referensi nih kak. . mksh

    BalasHapus